Ranuwijaya, Utang.
1996. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.
HADITS PADA MASA
RASULULLAH SAW
Periode: 13 Sebelum Hijriyah s.d. 11 Hijriyah / 610 s.d. 632 M. 23
tahun.
Merupakan masa penurunan wahyu (‘ashr al-wahyi) dan masa
pertumbuhan hadits. Wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul dijelaskan melalui
perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan ketetapan (taqarir)
kepada para sahabat.
1. BEBERAPA PETUNJUK RASUL
Rasul adalah seorang guru dan Pembina bagi sahabatnya.
2. CARA PENYAMPAIAN HADITS
Ada beberapa teknik rasul dalam
menyampaikan hadits kepad apara sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi
mereka:
1)
Melalui Jamaah Majlis al-‘Ilmi
Melalui para jamaah pada pusat pembinaan
yang disebut majlis al-‘Ilmi. Melalui majelis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits sehingga mereka
mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
2)
Melalui para sahabat tertentu.
Pada kesempatan tertentu rasul
menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu kemudian dari sahabat
disampaikan pada orang lain.
3)
Melalui Ceramah
Melalui pidato di tempat terbuka, seperti
saat haji wada’ dan fathul makkah.
4)
Dengan memberi contoh langsung
Perbuatan langsung yang disaksikan oleh
para sahabat (jalan musyahaddah)
Tempat yang digunakan rasul untuk
berdakwah seperti masjid, rumahnya sendiri, dalam perjalanan (safar),
dan ketika berada di rumah (muqim).[1]
Ada beberapa tujuan rasul menyampaikan
hadits kepada sahabat adalah:[2]
1)
Sebagai pernjelas kandungan ayat yang telah
turun.
2)
Menjelaskan kepastian hokum yang ada dalam
fenomena yang terjadi
3)
Menjawab pertanyaan yang diajukan sahabat
tentang fenomena yang terjadi.
4)
Menjelaskan kepastian hokum yang terjadi di
masyarakat.
5)
Menjelaskan aqidah yang salah yang tidak sesuai
dengan ajaran islam.
3. KEADAAN SAHABAT DALAM MENERIMA DAN
MENGUASAI HADITS
Dalam menerima hadits para sahabat
dibedakan oleh rasul. Ada yang menerima banyak hadits dan ada yang menerima
sedikit hadits. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain:
1)
Perbedaan kesempatan bersama rasul
2)
Perbedaan kesanggupan bersama rasul
3)
Perbedaan pemahaman dan kesungguhan menghafal
4)
Perbedaan waktu awal masuk islam
5)
Perbedaan kemampuan menulis hadits
Ada banyak sahabat yang menerima banyak
hadits karena sebabnya, diantaranya:[3]
a.
As-sabiqunal awwalun (orang yang
pertama masuk islam)
Karena lebih awal masuk islam, seperti Abu
Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Tolib, dan
Abdullah bin Mas’ud.
b.
Ummahat al-mukminin (para istri
Rasul)
Mereka yang pribadinya lebih dekat dan
sering dengan rasul, seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadits berupa
permasalahan keluarga, pribadi, dan tata cara pergaulan.
c.
Para sahabat yang dekat dengan Rasul
Mereka yang selalu dekat dengan rasul,
seperti Abdullah Amru bin Ash.
d.
Sahabat yang meskipun tidak lama dengan
rasul, namun efisien dalam memenfaatkan peluang untuk bertanya.
e.
Sahabat yang sungguh mengikuti majlis rasul
dan sahabat yang tergolong hidup lebih lama dari wafatnya Rasul.
4. PEMELIHARAAN HADITS DALAM HAFALAN DAN
TULISAN
A.
Aktifitas Menghafal Hadits
Ada alasan kuat yang cukup memberikan
motivasi kepada sahabat dalam memaksimalkan kekuatan menghafal hadits.
1)
Menghafal adlaah kegiatan budaya orang arab
2)
Mereka terkenal kuat dalam hafalan
3)
Rasul memberi spirit berupa do’a
4)
Sering dijanjikan Rasul tentang kebaikan
akhirat.
B.
Aktifitas Mencatat dan Menulis Hadits
Diantara para sahabat yang menulis hadits
dan memiliki catatannya sebagai berikut.
1.
Abdullah Amru bin Ash (27 SH s.d. 63 H)
2.
Jabir bin Abdillah (16 SH s.d. 78 H)
3.
Anas bin Malik (10 SH s.d. 93 H)
4.
Aub Hurairah ad Dausi (19 SH s.d. 59 H)
5.
Abu Syah / Umar bin Saad al-Anmari
6.
Abu Bakar ash-Shidiq (50 SH s.d. 13H)
7.
Ali bin ABi Tholib (23 SH s.d. 40 H)
8.
Abdullah bin Abbas (3 SH s.d. 68 H)
HADITS PADA MASA
SAHABAT
Periode: 11 H s.d. 40 H
Periode kedua perkembangan hadits pada amsa Abu Bakar, Umar, Usman,
dan Ali. Disbeut dengan masa sahabat besar.
Masa ini menunjukkan adanya pembatasan atau memperketat periwayatan
hadits. Pada masa ini belum begitu berkembang karena para sahabat masih fokus
dalam pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an.
A. MEMELIHARA AMANAH RASUL
Pada generasi pertama yang menerima amanah terbesar ummat,
adalah menerima dan melaksanakan amanah Rasulullah yang tertuang dalam Qur’an
dan Hadits.
بَلِّغُوْا
عَنِّي وَلَوْ اَيَةً
“sampaikanlah dariku walau satu ayat/satu hadits” (HR Bukhori dari Abdullah bin Amr bin al-“Ash)[4]
Siapa saja yang
berpegang pada keduanya (al-Qur’an dan Hadits) secara bersamaan, ia mendapat
jaminan Rasul tak akan hidup sesat di dunia dan akhirat.
B. KEHATI-HATIAN PARA SAHABAT DALAM
MENERIMA DAN MERIWAYATKAN HADITS
Pada masa ini
belum usaha yang resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab seperti
al-Qur’an. Ini dikarekanakan:
1)
Agar
para muslimin bisa berkonsentrasi dan perhatian belajar pada al-Qur’an terlebih
dahulu.
2)
Para
sahabat yang menerima hadits tersebar di seluruh wilayah islam, sehingga sulit
mengumpulkan semua secara lengkap.
3)
Di
kalangan sahabat masih berselisih dalam lafadz dan ke-sahih-annya
C. UPAYA PARA ULAMA MEN-TAUFIQ-KAN
HADITS TENTANG LARANGAN MENULIS HADITS
Dalam pembukuan
hadit, terdapat perselisihan yang dari sudut dzohir nampak adanya
kontradiksi.
KELOMPOK
PERTAMA. Menunjukkan adanya larangan rasul dalam menulis hadits. Secara
sanad dinilai sahih, namun yang dipermasalahkan apakah hadits ini marfu’
atau mauquf.
KELOMPOK KEDUA. Hadits tersebut menunjukkan perintah dari
rasul untuk menulis hadits-hadits.
Selain pendapat tersebut, masih ada juga pendapat-pendapat
lainnya yang bisa digolongkan menjadi empat,[5]
antara lain.
a)
Hadits dari Abu Said al-Khuduri bernilai mauquf,
karena tidak dapat dijadikan hujjah.
b)
Larangan hadits terjadi pada periode awal islam,
dikarenakan keterbatasan tenaga.
c)
Ada yang beependapat larangan tersebut diberikan
pada yang tidak kuat hafalannya.
d)
Larangan tersebut berbentuk umum yang sasarannya
masyarakat banyak.
Perlu diketahui,
Abu Sa’ad al-Khuduri, sahabat yang meriwayatkan hadits larangan menuliskan
hadits, sebagaimana dikatakan Al-Khatib al-Bagdadi, ternyata mempunyai banyak
catatan-catatan hadits yang diterimanya dari Rasul SAW.[6]
HADITS PADA MASA
TABI’IN
1. SIKAP DAN PERHATIAN TABI’IN TERHADAP
HADITS
Pada masa tabi’in terjadi penyebaran hadits yang luas
seiring dengan wilayah islam yang semakin luas. Masa ini dikenal dengan masa
menyebarnya periwayatan hadits (intisyar ar-riwayah).
2. PUSAT-PUSAT KEGIATAN PEMBINAAN HADITS
Beberapa sahabat yang meriwayatkan banyak hadits adalah Abu
Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir
bin Abdillah, dan Abi Sa’ad al-Khuduri.[7]
Madinah
|
Para khulafaur
Rasyidin
|
Makkah
|
Mu’adz bin Jabal,
Atab bin Asid, Harits bin Hisyam, Usman bin Tallah, dan Utbah bin Harits[8]
|
Kuffah
|
Ali bin Abi Tholib,
Sa’ad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud[9]
|
Basrah
|
Anas Bin Malik,
Abdullah Bin Abbas, Imran Bin Husain, Ma’qal bin Yasar, Abdurrahman bin
Samrah, dan Abu Said al-Anshori.[10]
|
Syam
|
Abu Ubaidah al
Jahr, Bilal bin Rabbah, Ubadah bin Shammit, Mu’adz bin Jabal, Sa’ad bin
Ubadah, Abu Darda Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan Iyadh bin
Ganam.[11]
|
Mesir
|
Amru bin Ash, Uqbah
bin Amir, Kharizah bin Hudzafah, dan Abdullah bin Harits[12]
|
Maghrib dan
Andalusia
|
Mas’ud bin Aswad
al-Balwi, Bilal bin Haris bin Ashim al-Muzani, Salamah bin Akwa, dan Walid
bin Uqobah
|
Yaman
|
Mu’adz bin Jabal
dan Abu Musa al-Asy’ari[13]
|
Khurasan
|
Buraidah bin Jusain
al-Aslami, al-Hakam bin Amir al-Gifari, Abdullah bin Qasim al-Aslami, dan Qasim
bin Al-Abbas
|
3. PARA PENULIS HADITS DI KALANGAN
TABI’IN[14]
Diantara Tabi’in Besar (Kibar at-Tabi’in) yang
menuliskan hadits yang diterimanya adalah
·
Abban bin Usman bin Affan
·
Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i
·
Abu Salamah bin Abdurrahman
·
Abu Qilabah
·
Ummu ad-Darda Juhaiman binti Yahya
·
Jabir bin Said al-Azdi
·
Hamran bin Aban
·
Khalid bin Ma’dan
·
Zakwan Abu Saleh as-Samman
·
Sa’id bin Jubair
|
·
Syurahil bin Syurahbil
·
Thawus bin Kaisan al-Yamani
·
Ad-Dakhlak
·
Abdullah bin Rabbah al-Anshari
·
Abdullah bin Humruz
·
Ubaidillah bin Rafi’
·
Urwah bin az-Zubair
·
Ikrimah
·
Umar bin Abdul Aziz
|
Diantara para
Tabi’in Muda (shigar at-Tabi’in) yang menuliskan hadits adalah
·
Ibrahim bin Abdul A’la al-Ju’fi
·
Ibrahim bin Muslim al-Hajari
·
Ishak bin Abdullah
·
Ismail bin Abi Khalid al-Ahmasi
·
Ayyub bin Abi
Tamimah as-Sakhtayani
·
Bakir bin Abdillah as-Sysyad
·
Tsabit bin Aslam al-Bannani
|
·
Habib bin Salim al-Anshari
·
Hushain bin Abdurrahman as-Sulami
·
Hafsh bin Sulaiman at-Tamimi
·
Hammad bin Abi Sulaiman
·
Zaid bin Rafi’
·
Nafi bin Yazid
|
4. PERPECAHAN POLITIK DAN PEMALSUAN
HADITS
Peristiwa yang mengkhawatirkan adalah terjadinya pemalsuan
hadits yang salah satunya disebabkan oleh perpecahan politik dalam
pemerintahan. Kejadian ini menodai originalitas sebuah hadits.
Perpecahan politik terjadi setelah Perang Jamal dan Perang
Shiffin saat kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Tholib. Dari persoalan
tersebut memberikan PENGARUH NEGATIF terhadap perkembangan hadits. Yaitu
munculnya hadits-hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan
politik tiap kelompok. Sedangkan PENGARUH POSITIF adalah lahirnya rencana dan
usaha mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadits sebagai upaya
penyelamatan hadits.
MASA MODIFIKASI HADITS
Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz,
khalifah VIII Umayyah, melalui intruksinya kepada Abi Bakar bin Muhammad bin
Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan
mengumpulkan hadits dari para penghafalnya.
Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm berhasil mengumpulkan hadits,
namun menurut ulama kurang lengkap. Disamping itu, ibn Syihab az-Zuhri berhasil
mengumpulkan hadits yang dinilai lebih lengkap oleh para ulama. Namun karya
keduanya tidak bisa dinikmati hingga sekarang karena lenyap.
1. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN MUNCULNYA
MODIFIKASI HADITS[15]
Ada tiga hal yang mendasari. Antara lain sebagai berikut.
1)
Kekhawatiran hilangnya hadits, dengan wafatnya
para penghafal hadits
2)
Khawatir tercampur antara hadits sahih
dengan hadits dhoif
3)
Karena kawasan islam yang semakin luas
2. PEMBUKUAN HADITS DI KALANGAN TABIIN
DAN TABIUT TABIIN SETELAH IBNU SYIHAB AZ-ZUHRI
Setelah az-Zuhri, ada Malik bin Annas (93-179 H) dengan Al-Muwattha’
yang bisa dinikmati hingga sekarang.
HADITS MASA SELEKSI,
PENYEMPURNAAN, DAN
PENGEMBANGAN SISTEM
PENYUSUNAN
KITAB-KITAB HADITSNYA
1. MASA SELEKSI HADITS
Pada periode sebelumnya mampu memisahkan antara hadits maqhtu
dan hadits marfu’, namun belum bisa memilah antara sahih dan dhaif.
Para ulama bekerja keras untuk memilah dan meneliti sumber hadits hingga
terbentuknya hadits sahih dan hadits dhaif.
2. KITAB INDUK YANG ENAM (KUTUBUS
SITTAH)
Satu persatu seleksi muncul hingga Abu Abdillah Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin Bardzibah al-Bukhari alias “Bukhari” menyusun al-Jami’
ash-Shahih (194-252 H). Disusul dengan Abu Husain Muslim al-Hajaj
al-Khusairi an-Nasaburi alias “Muslim” dengan kitab yang disebut juga al-Jami’
ash-Shahih (204-261 H). Kemudian berlanjut dengan as-Sunan yang
dikarang Abu Daud Sulaiman bin asy-Syiat bin Ishaq as-Sijistani (202-275 H),
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Tirmidzi (200-279 H), dan Abu Abdillah
ibn Yazid ibn Majjah (207-273 H).
3. MASA PEMBANGUNAN DAN PENYEMPURNAAN
SISTEM PENYUSUNAN KITAB-KITAB HADITS
Penyusunan kitab ini terarah pada usaha pengembalian
beberapa variasi pen-tadwin-nan terhadap kitab yang ada. Dengan
hal tersebut muncullah Kutub as-Sittah, al-Muwattha’ Malik bin Annas,
dan al-Musnad Ahmad bin Hambal. Pengalihan ini guna menyusun kitab-kitab
·
jawami’ (pengumpulan hadits menjadi satu
karya)
·
syarah (kitab komentar dan uraian)
·
mukhtashar (kitab ringkasan)
·
men-takhrij (mengkaji sanad dan
mengembalikan kepada sumbernya)
·
athraf (menyusun pangkal hadits sebagai
petunjuk materi hadits keseluruhan)
·
penyusunan hadits dalam topik tertentu
[1]
Mushtafa as-SIba’I. op. cit. hal 61
[2]
Ajjaj al-Khattib. Ushul. Op. cit. hal 66-69
[3]
Al-Qasimi, op.cit hal 72-74.
[4] As-Suyuthi. Al-Jami’. Op.cit. hal
126
[5]
Sebagaimana dilakukan Ajjaj al-Khattib
[6]
Muhammad Musthafa al-A’zhami, op.cit. hal 95
[7]
Muhammad Musthafa al-A’zhami, op.cit. hal 163-173 dan 411-480
[8] Al
Hakim. Kitab Ma’rifah Ulum al Hadits. Kairo: Maktabah al-Matnabi. Hal
192
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[14]
Muhammad Musthafa al-Azhami, op.cit. hal 143-300
[15]
Shubhi as-Sahih, op.cit. hal 45

Tidak ada komentar: