Kutipan dari buku Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer (Gema
Insani Press), “Hukum Mendengarkan Nyanyian“.
PERTANYAAN
Sebagian orang mengharamkan semua bentuk nyanyian dengan alasan
firman Allah:
“Dan diantara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan.”
(Luqman: 6)
Selain firman Allah itu, mereka juga beralasan pada penafsiran para
sahabat tentang ayat tersebut. Menurut sahabat, yang dimaksud dengan “lahwul
hadits” (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian. Mereka
juga beralasan pada ayat lain:
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang
tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya …”
(Al Qashash: 55)
Sedangkan nyanyian, menurut mereka, termasuk “laghwu”
(perkataan yang tidak bermanfaat).
Pertanyaannya, tepatkah penggunaan kedua ayat tersebut sebagai
dalil dalam masalah ini? Dan bagaimana pendapat Ustadz tentang hukum
mendengarkan nyanyian? Kami mohon Ustadz berkenan memberikan fatwa kepada saya
mengenai masalah yang pelik ini, karena telah terjadi perselisihan yang tajam
di antara manusia mengenai masalah ini, sehingga memerlukan hukum yang jelas
dan tegas. Terima kasih, semoga Allah berkenan memberikan pahala yang setimpal
kepada Ustadz.
JAWABAN
Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik,
merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para fuqaha kaum muslimin sejak zaman
dulu. Mereka sepakat dalam beberapa hal dan tidak sepakat dalam beberapa hal
yang lain.
Mereka sepakat mengenai haramnya nyanyian yang mengandung kekejian,
kefasikan, dan menyeret seseorang kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya
nyanyian itu baik jika memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek
apabila berisi ucapan yang jelek. Sedangkan setiap perkataan yang menyimpang
dari adab Islam adalah haram. Maka bagaimana menurut kesimpulan Anda jika
perkataan seperti itu diiringi dengan nada dan irama yang memiliki pengaruh
kuat? Mereka juga sepakat tentang diperbolehkannya nyanyian yang baik pada
acara-acara gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat menyambut kedatangan
seseorang, dan pada hari-hari raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits
yang sahih dan jelas.
Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai nyanyian selain
itu (pada kesempatan-kesempatan lain). Diantara mereka ada yang memperbolehkan
semua jenis nyanyian, baik dengan menggunakan alat musik maupun tidak, bahkan
dianggapnya mustahab. Sebagian lagi tidak memperbolehkan nyanyian yang
menggunakan musik tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan musik. Ada pula
yang melarangnya sama sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan
musik atau tidak).
Dari berbagai pendapat tersebut, saya cenderung untuk berpendapat
bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah halal selama
tidak ada nash sahih yang mengharamkannya. Kalaupun ada dalil-dalil yang
mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak sahih,
atau sahih tetapi tidak sharih. Antara lain ialah kedua ayat yang dikemukakan
dalam pertanyaan Anda.
Kita perhatikan ayat pertama:
“Dan diantara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna …”
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi’in untuk
mengharamkan nyanyian. Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah
sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata:
“Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:
Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw.
Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi’in yang
lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena
didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:
“Dan diantara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan …”
Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, maka ia
dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi. Jika ada orang yang membeli Al
Qur’an (mushaf) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya
bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku seperti inilah yang
dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan
hatinya – bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian juga orang
yang sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur’an atau membaca
hadits, atau bercakap-cakap, atau menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau
lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah.
Lain halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan kewajiban kepada
Allah, yang demikian tidak apa-apa ia lakukan.”
Adapun ayat kedua:
“Dan
apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling
daripadanya …”
Penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian
tidaklah tepat, karena makna zhahir “al laghwu” dalam ayat ini ialah perkataan
tolol yang berupa caci maki dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita
lihat dalam lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang
tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami
amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak
ingin bergaul dengan orang-orang jahil.”
(A1 Qashash: 55)
Ayat ini mirip dengan firman-Nya mengenai sikap ‘ibadurrahman
(hamba-hamba yang dicintai Allah Yang Maha Pengasih):
“…
dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik.” (Al Furqan: 63)
Andaikata kita terima kata “laghwu” dalam ayat tersebut
meliputi nyanyian, maka ayat itu hanya menyukai kita berpaling dari
mendengarkan dan memuji nyanyian, tidak mewajibkan berpaling darinya. Kata “al
laghwu” itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu yang
tidak ada faedahnya, sedangkan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah
tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.
Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa Rasulullah saw. memperbolehkan
mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan kepada beliau: “Apakah yang demikian itu
pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?”
Beliau menjawab, “Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk kejelekan,
karena ia seperti al laghwu, sedangkan Allah berfirman:
“Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah) …” (Al Ma’idah: 89)
Imam Al Ghazali berkata: “Apabila menyebut nama Allah Ta’ala
terhadap sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh
dan menyelisihinya karena tidak ada faedahnya itu tidak dihukum, maka bagaimana
akan dikenakan hukuman pada nyanyian dan tarian?”
Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu, karena hukumnya
ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik
menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan
diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk
menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan
riya’. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya
Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia melihat hatimu.” (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Baiklah saya kutipkan di sini perkataan yang disampaikan oleh Ibnu
Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang melarang nyanyian. Ibnu
Hazm berkata: “Mereka berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu
termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga? [Maksudnya, tidak ada
kategori alternatif selain kebenaran dan kesesatan] Allah SWT berfirman:
“…
maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan …” (Yunus, 32)
Maka jawaban saya [Ibnu Hazm], mudah-mudahan Allah memberi taufiq,
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya
amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan)
apa yang ia niatkan.”
Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat
mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala berarti ia fasik,
demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan
niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla
dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang
taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan
barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka
mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaedah) yang
dimaafkan. Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di
pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah
warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis
lainnya.” (Ibu Hazm, al-Muhalla)
Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang
mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas
dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau
kedua-duanya. Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al
Hakam: “Tidak satu pun hadits sahih yang mengharamkannya.” Demikian juga yang
dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm
berkata: “Semua riwayat mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan
palsu.”
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah
nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan
kita banyak mendapati nash sahih yang menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah
saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu Bakar pernah
masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika itu ada dua gadis di sisi
Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata:
“Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?” Kemudian Rasulullah
saw. menimpali:
“Biarkanlah
mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.”
Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain
hari raya. Makna hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang
disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya
yang tidak terlarang.
Akan tetapi, dalam mengakhiri fatwa ini tidak lupa saya kemukakan
beberapa syarat yang harus dijaga:
1.
Tema atau isi
nyanyian harus sesuai dengang ajaran adab Islam.
Nyanyian yang berisi kalimat “dunia adalah rokok dan gelas arak”
bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai
sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya,
pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang
yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan
dharar.
Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji
kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan
adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya:
“Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya …”
(An Nur: 30)
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya …” (An Nur: 31)
Dan Rasulullah saw. bersabda:
“Wahai
Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain.
Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang
kedua adalah risiko bagimu.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
2.
Penampilan
penyanyi juga harus dipertimbangkan
Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak “kotor,” tetapi penampilan
biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada
yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit,
memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang
didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.
Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi
saw:
“Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada
penyakit dalam hatinya …” (Al Ahzab: 32)
3.
Tidak
berlebih-lebihan
Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam
segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda
mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah)
dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan
bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan
kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat
mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah
tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa’: “Saya
tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada
hak yang terabaikan.”
Bagi pendengar – setelah memperhatikan ketentuan dan batas-batas
seperti yang telah saya kemukakan – hendaklah dapat mengendalikan dirinya.
Apabila nyanyian atau sejenisnya dapat menimbulkan rangsangan dan membangkitkan
syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya tenggelam dalam khayalan, maka
hendaklah ia menjauhinya. Hendaklah ia menutup rapat-rapat pintu yang dapat
menjadi jalan berhembusnya angin fitnah ke dalam hatinya, agamanya, dan
akhlaknya.
Tidak diragukan
lagi bahwa syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan ini pada masa sekarang
sedikit sekali dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya, aturannya,
temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan kehidupan orang-orang yang
sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan nilai-nilai yang ideal. Karena itu tidaklah layak seorang muslim memuji-muji mereka dan
ikut mempopulerkan mereka, atau ikut memperluas pengaruh mereka. Sebab dengan
begitu berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.
Karena itu lebih utama bagi seorang muslim untuk mengekang dirinya,
menghindari hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri dari sesuatu yang akan dapat
menjerumuskannya ke dalam lembah yang haram – suatu keadaan yang hanya
orang-orang tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya.
Barangsiapa yang mengambil rukhshah (keringanan), maka hendaklah
sedapat mungkin memilih yang baik, yang jauh kemungkinannya dari dosa. Sebab,
bila mendengarkan nyanyian saja begitu banyak pengaruh yang ditimbulkannya,
maka menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena masuk ke dalam
lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama seorang muslim, yang jarang
sekali orang dapat lolos dengan selamat (terlepas dari dosa).
Khusus bagi seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih besar.
Karena itu Allah mewajibkan wanita agar memelihara dan menjaga diri serta
bersikap sopan dalam berpakaian, berjalan, dan berbicara, yang sekiranya dapat
menjauhkan kaum lelaki dari fitnahnya dan menjauhkan mereka sendiri dari fitnah
kaum lelaki, dan melindunginya dari mulut-mulut kotor, mata keranjang, dan
keinginan-keinginan buruk dari hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:
“Hai
Nabi katakanIah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri
orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu …” (Al Ahzab: 59)
“…
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang
ada penyakit di dalam hatinya…” (Al Ahzab: 32)
Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan
dirinya untuk memfitnah atau difitnah, juga berarti menempatkan dirinya dalam
perkara-perkara yang haram. Karena banyak kemungkinan baginya untuk berkhalwat
(berduaan) dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya dengan alasan untuk
mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak, dan sebagainya. Selain
itu, pergaulan antara pria dan wanita yang ber-tabarruj serta berpakaian dan
bersikap semaunya, tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar haram menurut
syariat Islam.
Apakah musik itu halal?
Pada hakikatnya musik adalah halal, namun
bisa berubah menjadi haram apabila dalam
nyanyiannya mengandung unsur kuat hal
negatif. Nyanyian itu sah-sah saja namun berlirikkan suatu hal yang baik, tidak
mengandung unsur perkataa yang dilarang agama.
Sebagian sahabat dan tabi’in untuk mengharamkan sebagaimana yang
dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Namun halal dan haramnya musik lebih
ditekankan pada tujuan dari isi atau lirik dari lagu yang didengarkan. Musik
bisa dikatakan fleksibel, dinilai halal apabila dengan musik mampu membuat kita
bergairah dalam rangka taat kepada Allah, dan dinilai haram apabila lirik atau
isi dari musik tersebut mengarah kepada kekafiran dan keburukan. Jadi lebih
ditekankan pada tujuan kita bermusik.
Adapun
hadits-hadits yang dijadikan landasan mengharamkan nyanyian tidak sahih, tidak
terlepas dari celaan dari perowinya. Adapun tujuan dari musik dihalalkan
mempunyai beberapa kriteria, antara lain sebagai berikut.
1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai adab
Islam.
Ada beberapa kriteria yang masuk dalam islam.
Islam mencintai adanya suatu keindahan atau seni. Misalnya lagu mengenai
keindahan alam, lagu motivasi. Namun apabila musik diarahkan untuk memuji
selain Yang Maha Kuasa, maka itu dinilai haram. Sebagai misal lagu yang memuji
kecantikan seseorang.
2.
Penampilan
penyanyi juga harus dipertimbangkan
Jika dilihat, sebenarnya banyak lagu yang
mendorong ke hal positif. Namun yang menjadi permasalahan dikarenakan
penyanyinya yang terkadang over dalam membawakannya. Kasusnya seperti yang
banyak kita ketemui sekarang adalah penampilan yang terlalu mengundang
perhatian. Bukan lagi syair lagu yang dijadikan penarik perhatian, namun
terlebih pada penampilan penyanyinya. Banyak masyarakat menilai lagu bukan dari
seni keindangan merangkai-katanya, namun masyarakat lebih menyukai lagu
dikarenakan penyanyinya.
3.
Tidak
berlebih-lebihan
Sudah jelas dalam islam melarang sesuatu yang
berlebihan disegala aspek kehidupan. Terlebih dalam nyanyian, karena nyanyian
itu sebagai hiburan berupa karya seni oleh karenanya jika berlebihan akan
menjadi tidak baik. Bagi pendengarnyapun juga akan menyita waktu banyak apabila
berlebihan dalam mendengarkan suatu nyanyian. Karena manusia juga memerlukan
waktu untuk bertahan hidup, sebagaimana ibadah.
Di zaman ini,
beberapa syarat tersbut mungkin yang harus dipenuhi, karena beberepa syarat
tersebut menjadi acuan agar tidak menyimpang dari ajaran islam. Banyak sudah
kita jumpai nyanyian yang menggunakan daya tarik penyanyinya, banyak pula lagu
yang menghipnotis kita ke kekejian dengan syait atau lirik yang negatif.
Sekalipun penyanyi, penampilannya sekarang sudah tidak bisa dikatakan ideal
lagi, namun sudah menjadi melebih-lebihkan, tidak alakadarnya.
Sebagai umat
muslim, tentunya kita bisa membatasi diri dimana seni itu untuk dinikmati
sebagai intermezo kehidupan, tidak menjadikan musik sebagai suatu kegemaran
untuk lupa terhadap tujuan utama kita hidup di alam-Nya. Karena bagi muslimin penting
untuk menghindar dari kekejian, sesuatu yang mampu menjerumuskan dirinya ke
lembah keharaman, dan hanya beberapa orang saja yang mampu lolos lembah ini.
Tidak ada komentar: